27 Desember 2011

MENGERTI BUKAN UNTUK DIMENGERTI

Di awal pagi ini dalam payung mentari yang masih sedikit malu – malu untuk menampakkan senyumnya, aku terjaga. Sudah telalu lama semua terasa beku. Sekitar dua abad, ah terlalu lama, dua minggu aku terbaring di tempat ini. Tempat yang baru dan amat asing bagiku. Ku masih merasakan perih dan sakit yang aku alami. Mungkin tidak semua orang mengalami ini, tapi mungkin semua orang bisa merasakan setiap tetes kelu, resah, juga pedih ini.

Waktu itu, tepatnya seminggu yang lalu, tepat dimana pagi masih sepi, masih dingin dan menusuk hati, aku mencoba bertemu dengannya. Semoga aku tak terlambat untuk mencegahnya kembali.
Disisi lain hati ku seperti tak mengerti, seperti bongkahan es yang mencair, makin lama aku tak kuasa dan tak bisa mengartikan sesajak dalam lamunanku. Ku coba membangun asa, asa yang pernah terbnagun namun masih gagal dan membuatku terjatuh bak onggokan sampah yang tak berarti.
Aku menunggunya, dari awal pagi buta, hingga mentari menyingsing semakin panas dan panasnya semakin menusuk – nusuk kepalaku.
Masih seperti hari kemarin, dia yang ku tunggu masih belum datang, atau kah dia memang takkan pernah datang?.
Badanku tak kuasa untuk menahannya, hatiku seperti teriris, tidak berdarah namun sakit, tapi ku tetap menunggu, aku bukan manusia cengeng, aku bukan pecundang yang menyerah begitu saja, ku tau aku adalah pemenang.
Lama kelamaan badanku tak kuat juga dan aku terjatuh, semakin sebentar jam ku untuk tertidur, makanpun hanya ala kadarnya, hanya sesuap dua suap guna syarat untuk aku tetap bertahan.
Malam ini aku memimpikanku, tepat tengah malam aku terjaga, aku merasakan mimpi itu nyata, sangat nyata, tapi itu hanya mimpi.
Mimpi yang semakin membawaku teriris dan semakin perih, mimpi yang sangat nyata tapi hanya sebuah sepi kembali renggut harapanku.
Aku sadar, aku bukan siapa – siapa dalam segala perjalanan ini. Bukan juga berarti dalam perjalanan ini aku harus diam saja tanpa perlu berbuat dan mengerti.
Semangatku pudar, kembali pudar dan semakin pudar, tak pernah mngerti, sejak awal aku tak mengerti. Bagaikan sebuah langkah yang hanya terpaku pada tempat dan waktu yang sama.
Aku duduk di bangku taman, taman yang selalu membuatku teringat akannya, semoga lekas kembali, itu yang hanya ada dihatiku dalam anganku, serta doa ku.
Didalam luka yang terhenti antara semua kenangan ini, bukan tak mungkin semua tak berpihak kepadaku. Waktu, kesempatan dan keberuntungan, semua hanya omong kosong.
Aku sudah lama menggenggam ini, sebuah surat darinya, surat terakhir yang pernah ia tulis untukku, surat yang sungguh sangat buatku untuk memeluknya, surat yang hanya akan bisa buatku terharu dan meneteskan darah kerinduan dari hatiku.
Hingga kini kenangan yang telah ku coba kubur dalam – dalam ini selalu menghantui aku dalam mimpi atau dalam sadarku. Aku tahu semuanya takkan seperti harapan, tapi aku juga tahu manusia takkan berhenti berharap, manusia takkan pernah menyerah.
Tapi semuanya ada batasnya, aku hanya manusia biasa, nukan malikat ataupun dewa, hanya manusia yang diciptakan Tuhan dari tanah.
Lihat aku bulan, jangan kau palingkan sinarmu dari aku, lihat aku hujan, jangan kau tiada saat aku haus akanmu, kau sendiri, aku hilang, aku sepi, aku butuh kalian. Aku butuh kalian saat ini, saat ini, iya saat ini.
Dalam tertawaku ku selalu ceritakan kepada kalian, tapi mengapa dalam kelu dan sedihku kalian memandang akupun tak sudi, apa ini aku yang hanya bisa dan biasa sendiri??. Iya??.
Aku mencoba sadarkan diriku, aku bisa hidup tanpamu, tapi ternyata aku salah, aku terlalu sayang padamu, terlalu memujamu dengan sempurna, tapi tak seperti melupakanmu, sangatlah sulit dan sangat menyakit.
Dan kembali hening, saat hatiku yang meluap – luap kini tinggal hening.

Pagi ini mendung mebayangi, juga hatiku, yang terasa sakit dan perih walau tak berdarah. Semangatku hanya tinggal sisa, hanya sebuah alasan saja aku berada di tempat ini. Di pusara tua hatiku yang menguburkan semua kenangan yang pernah terukir manis namun hanya sementara.
Di pusara ini pintu menuju altar keabadian aku bersimuh, bukan untuk memuja, juga bukan untuk merenungi, hanya mencoba lupakan.
Aku bawa kenangan yang sebagian masih tersisa di otakku, yang masih tersisa di hatiku, yang masih tersisa di jiwaku, untuk ku bawa dan ku hempaskan lagi ke dalam pusara ini,
Walau tak selang semenit kemudian semua tumbuh bak jamur di musim hujan. Selalu terulang seperti itu, mungkin kenangan ini terlalu mengakar dan semakin tertanam dalam benakku.
Aku hanya bisa tertawa, sekencang kencangnya, hingga berkurang sedikit bebanku, aku tak kuasa bila ini berlangsung terus menerus, mengingatmu adalah hanya membuat aku sakit, tapi aku juga tak bisa bila hidup tanpa itu, hanya kenangan ini saja yang bisa buatku hidup, tapi kenangan ini juga yang buatku semakin terbunuh, semakin tersiksa.
Mungkin hingga nafas berhenti aku bisa mengubur seutuhnya itu.
Aku terjatuh lagi, semalam tak bisa berbuat banyak, kecuali mimpi itu datang lagi, menikam aku, membunuh asa dan semangatku. Aku terbaring dan hanya sekali – sekali memandang hujan dari balik jendela. Dengan melihatnya saja aku bisa merasakannya, betapa perihnya, sayatan air yang mengores indah dipelataran. Sudahkah ini? Kuharap cukup sudah, berakhir semua ini, aku ingin itu, aku bisa terbiasa akan perih ini tapi takkan bisa terbiasa bila tanpamu. Dengan kenanganmu yang membabibuta menikam aku, lagi dan lagi. Separuh perjalanan hidupku ku abdikan padamu, atas nama cinta yang mengagungkan dunia, tapi hanya sekejap dan kemudian pergi tinggalkan aku.
Aku mungkin terlalu bodoh untuk terus bertahan, aku memang bodoh dan tak tahu apa apa kecuali kau memang tercipta untukku, kalau itu aku tahu dan sadari seutuhnya.
Kau putih aku hitam, yang membuas dari rasa yang kelam kelu menjadi indah berwarna dan ceria. Aku juga tahu dibalik senyummu yang magis yang buatku takkan setenang ini tanpa kamu, iya kamu dan kamu.
Aku berdiri dibalik sajak ku sendiri, sajak tentang kamu, dalam sajakku, kau akan datang, kau akan kembali basuh hatiku, hapus semua kelu yang aku tahu kau juga merasakan itu.
Hingga aku teebaring dalam pusaraku ini, kedatanganmu hanya fana bagi anganku, hanya mimpi yang terbunuh waktu, dengan semua pengorbanan itu, bukan kah aku telah berikan jiwaku, hati yang terluka dan kepedihan kepedihan serta tangis yang mengiris ini padamu, harusnya dalam rahasiaku kau juga tahu akan itu, kau badai yang menghantam kapal mimpiku yang tengah menggila, tengah laju berjalan dlaam lautan yang tak berdasar. Perlu kau ketahui, bila kau telah membaca semua ini, kau kan tahu betapa aku sangat memujamu.
Dan tolong dengan kerelaanmu jaga serta rawat pusara impianku yang membeku, dan lanjutkan langkah langkahku dimana dulu kita telah merencankannya untuk itu. Aku bukan Kahlil Gibran yang menjadikan keyakinannya sebgai tolok ukur yang mumpuni untuk melanjutkan hidupnya tanpa pendamping.
Mengerti bukan untuk dimengerti.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar